Pengajuan PKPU Jadi Pilihan Koperasi Gagal Bayar

Ingat Kembali
    Pengajuan PKPU Jadi Pilihan Koperasi Gagal Bayar, Pengawas Koperasi Sejahtera Bersama  Iwan Setiawan

"Situasi ekonomi pada akhirnya membongkar kondisi riil bagaimana kondisi keuangan perusahaan. Ibaratnya pegangan kanan - kiri ketahuan dari awal kondisi prudential serta pengelolaan risiko tidak diantisipasi untuk menghadapi kemungkinan resesi yang cukup dalam,"Humas PN Jakpus Bambang Nurcahyo

Jakarta (INGATKEMBALIcom) - Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat bisnis koperasi bertumbangan. Akibatnya, sejumlah koperasi tak mampu membayarkan kewajibannya kepada anggota atau kreditur. 

Guna memastikan dana balik, para pemohon mengajukan gugatan Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap koperasi ke pengadilan. Dari lima pengadilan niaga di Indonesia, tercatat ada 29 permohonan PKPU. Terbanyak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yakni 24 permohonan. 

“Adanya peningkatan gugatan PKPU koperasi barang kali, salah satunya karena faktor ekonomi yang kurang baik di saat masa pandemi COVID-19 ini,” kata Humas PN Jakpus Bambang Nurcahyo, Rabu 16 September 2020. 

Terkait alasan gugatan, Bambang minta agar bisa ditanyakan langsung kepada pihak pemohon. Sebab, tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang masuk. 

Merujuk Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 24 permohonan PKPU mulai ramai sejak Maret 2020. Kemudian pengajuan terbanyak pada bulan Juli yakni lima permohonan PKPU. 

Dari jumlah itu, gugatan PKPU terbanyak kepada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sejahtera Bersama. Menyusul KSP Lima Garuda, KSP Pracico Inti Utama, KSP Indosurya Cipta, Koperasi Hanson Mitra Abadi dan lainnya. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto  memperkirakan, kasus gagal bayar koperasi masih akan terjadi di sisa tahun ini. Mengingat, pertumbuhan riil sektor menurun akibat pandemi Covid-19 sehingga mempengaruhi kinerja di sektor keuangan, termasuk koperasi.

"Untuk koperasi yang likuiditasnya, cekak dugaan saya masih akan gagal bayar, apalagi kondisi keuangan di koperasi sulit ditemukan seperti perbankan. Ujung-ujungnya di tengah kondisi ini, nasabah yang menarik dana dan kasus ini terulang lagi," kata Eko.

Ia memperkirakan, kasus gagal bayar terjadi pada koperasi yang menjanjikan reutrn di atas bank. Sebab, koperasi kesulitan mendapatkan pengembalian dana ketika pandemi hingga akhirnya terjadi missmatch.

"Situasi ekonomi pada akhirnya membongkar kondisi riil bagaimana kondisi keuangan perusahaan. Ibaratnya pegangan kanan - kiri ketahuan dari awal kondisi prudential serta pengelolaan risiko tidak diantisipasi untuk menghadapi kemungkinan resesi yang cukup dalam,"ujar dia.

Guna mengantisipasi dampak lebih besar, maka perlu dilakukan optimalisasi pengawasan. Misalnya saja, Kementerian Koperasi dan UMKM lebih selektif dalam memberikan izin usaha kepada koperasi.

Kemudian Kemenkop dan suku dinas terkait terkait untuk mengecek tingkat kesehatan kesehatan keuangan koperasi yang sudah berdiri. Dari situ, kemudian diambil tindakan sebelum masyarakat melakukan penarikan dana secara besar - besaran.

Lembaga pengawas bisa lebih dulu mengecek keuangan dari koperasi yang memiliki aset besar. Biasanya, koperasi segmen ini bidik nasabah premi dan perkiraan pengembalian besar. 

Menurutnya, segmen koperasi ini rentan atas gugatan hukum karena uang yang dikelola cukup besar. Maka tak mengherankan, nasabah ini mengajukan PKPU jika uang mereka tidak kembali.

Baru kemudian, regulator mengecek kesehatan keuangan koperasi yang mempunyai nasabah dalam jumlah besar. Walaupun aset mereka tidak terlalu besar, kelompok koperasi ini mudah dilakukan atas sentimen ekonomi.

"Aspek jumlah yang besar punya potensi untuk melakukan rush money. Karena tingkat literasi keuangan mereka masih kurang dalam menghadapi pemberitaan di media sosial sehingga mereka bisa menarik dananya," tutupnya.(Mnr/Mdf/Kpn/Abo)

Tags